Saturday, July 18, 2015

Ide Arsitektur Organik Frank Lloyd Wright

Ide Arsitektur Organik Frank Lloyd Wright
Abstrak
Frank Lloyd Wright merupakan salah satu arsitek terbesar yang pernah hidup. Selain menghasilkan banyak karya arsitektural, beliau juga menghasilkan berbagai pemikiran penting yang banyak mempengaruhi perkembangan teori dan filosofi arsitektur. Paper ini akan berusaha menjelaskan beberapa pemikiran beliau, tidak hanya dalam dunia arsitektur namun dalam kehidupan. Kajian ini diharapkan dapat memberikan sebuah pemahaman  tentang  bagaimana  teori  dan  filosofi  dalam  arsitektur  terbentuk  dari sebuah  pemahaman  idealis  tentang  suatu  aspek  kehidupan  dan  bagaimana  teori arsitektur tersebut mengambil peranan dalam kehidupan.
Keywords: Arsitektur Organik, Ide.
Pendahuluan
Paper ini akan membahas pemikiran dan filosofis kehidupan dari Frank Lloyd Wright yang akan mencakup  6 ide yaitu ide tentang pemahaman  agama yang integratif, ide tentang supremasi  alam diatas manusia,  ide tentang personal  demokrasi,  ide tentang arsitek  profesional   yang  berlandaskan   nilai  moral,  ide  tentang  pendidikan   yang progresif dan ide tentang kota yang ideal. Pembahasan ini sangat penting bagi membuat kerangka studi tentang nilai-nilai moral Frank Lloyd Wright untuk diambil pelajaran dan diserap oleh Arsitektur Islam secara kritis dan integratif
Frank Lloyd Wright dan Ide tentang Pemahaman Agama yang Integratif Sebagai seseorang yang berasal dari keluarga penganut Kristen Protestan yang sangat kuat1,   tentu   saja   masalah   agama   menjadi   sebuah   pondasi   dasar   yang   sangat mempengaruhi kehidupan dan falsafah hidup dari Frank Lloyd Wright, dan hal ini tentu saja berimplikasi  dan  memiliki  efek  langsung  kepada  desain  dan  produk  pemikiran beliau. Pemikiran Wright tentang agama membentuk sebuah konsep yang sangat kuat dan unik. Dibandingkan  pemikiran  Kristen yang ada ketika itu pemikiran-pemikiran beliau   cukup   inovatif   dan   berpijak   pada   kerangka   rasionalitas   yang   jelas   dan menyeluruh.
“It’s about 2000 years now since Jesus said that the Kingdom of God-He meant the kingdom of nature apprehension and application-was at hand. He meant it was in man’s capacity to know this kingdom of God. He was a prophet, a real poet, the greatest one. But our world got him all wrong, doesn’t preach Him, doesn’t take His teaching-never did.. The Christian religions got Him all balled up by way of disciples and we are no nearer to his Kingdom today than we were in His own time, are we? We go to war, we kill, we steal, we make a profession of all those things and other wholly artificial ones.”2
Dalam identifikasi penulis, penulis menemukan bahwa ide tentang pemahaman agama yang integratif  dari Frank Lloyd Wright  ini dapat dijabarkan  atas pemikiran  bahwa agama  merupakan  bagian  integral  dari  arsitektur,  bahwa  agama  seharusnya berkontribusi kepada masyarakat dan nilai-nilai kemanusiaan dan bahwa agama seharusnya merupakan sebuah hal yang dinamis, penuh rasionalitas dan dapat dengan mudah dijelaskan kepada orang banyak.
Pemikiran pertama dari ide tentang pemahaman agama yang integratif adalah sebuah pemahaman bahwa agama merupakan bagian integral dari arsitektur. arsitektur dipengaruhi  oleh agama sebagaimana  pemahaman  bahwa arsitektur juga dipengaruhi oleh aspek yang lain seperti politik, ekonomi dan kondisi sosial.
Hal ini terlihat dari bagaimana  tulisan-tulisan  dan produk pemikiran  dari Wright. Ia banyak mengaitkan antara arsitektur dan agama sebagai sebuah kesatuan yang utuh dan berkorelasi secara positif. Agama merupakan bagian dari sistem hidupnya dan karena arsitektur  merupakan  bagian  dari sistem  kehidupan  kita maka  Arsitektur  tidak akan dapat dipisahkan dari agama. Merupakan sebuah kesalahan yang besar ketika manusia memahami arsitektur hanya sebagai implikasi dari hal yang lebih bersifat kebendaan dan bentuk materi.
“Architecture  organic,  perhaps  because  firstly  deeply  concerned  with  the integrity of innate structure, first grasped the demand of our modern American life for higher spiritual order.”3
Hal ini sangat berbeda dengan pemikiran yang berkembang di Eropa dan Amerika pada masa itu, dimana orang mulai meninggalkan  keyakinan agama, nilai-nilai  moral dan sisi-sisi  kemanusiaan  untuk  hal yang disebut  sebagai  modernisasi  dengan  trend  dan warna kehidupan yang materialistik4.
Keberhasilan Rennaisance dalam menggulung supremasi absolut gereja dan menggantikannya dengan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan, rasionalisme akal, sains dengan garis hidup yang berbau sekuler membuat kehidupan manusia berkembang menjadi suatu bentuk yang jauh dari nilai-nilai dan sisi kemanusiaan. Revolusi industri yang   yang   menjadikan   manusia   lebih   sebagai   produk   dan   bahan   baku   untuk dioptimalkan fungsi dan peranannya telah melepaskan manusia dari prinsip dan hakikat hakikinya. Melepaskannya dari fungsi dan peranan sosialnya dengan membentuk baut- baut kapitalisme  yang  berkerja  atas dasar  mekanisme  dan sistem  sintesis5.  Manusia mulai mengerjakan hal-hal yang dia sendiri seringkali tidak memahaminya dengan pengulangan tanpa sebuah kesadaran.
“It was budha who noticed that the spoon may lie in the soup for a thousand years and never know the flavour of the soup.”6
Inilah beberapa hal yang menjadi titik tekan dari pemikiran-pemikiran Frank Lloyd Wright. Sebuah ide tentang integrasi yang harmoni dari agama dengan aspek kehidupan yang lainnya termasuk Arsitektur.
Pemikiran kedua dari ide tentang pemahaman agama yang integratif adalah sebuah pemahaman  bahwa  agama  bukanlah  merupakan  pelayanan  untuk  Tuhan  melainkan sistem  hidup  yang  mengatur  hubungan  antar  manusia  dalam  konteks  pengabdian
kepada Tuhan. Pemikiran ini sangat signifikan karena ia akan mengatur seluruh pola kehidupan  dan  menentukan  ke  arah  mana  seseorang  akan  bergerak.  Ketika  Wright diminta  mendesain  Unity  Temple  terlihat  sekali  bagaimana  ia  menjadikan  gereja tersebut sebagai sebuah pusat kegiatan dan pembangunan masyarakat.
“Why not, then, built a temple, not to God in that way7-more sentimental that sense-but built a temple to man, appropriate to his uses as a meeting place, in which t study man himself for his god sake? A modern meeting house and a good-time place.”8
Dalam Arsitektur hal ini sangat penting karena hal ini jelas bertentangan dengan mainstream yang ada pada konsep rumah Tuhan terutama dalam pembuatan gereja dan rumah ibadah ketika itu, dimana orang kemudian membangun tempat ibadah atau hal- hal yang berbau religius secara megah dan berlebihan dengan tujuan pengabdian dan persembahan kepada Tuhannya. Implikasi konsep ini sungguh luar biasa karena ia berhubungan dengan pemahaman sistem hidup dan perilaku manusia dimana arsitektur merupakan satu aspek di dalamnya (Lihat gambar 1 dan 2).
Pemikiran ketiga dari ide tentang pemahaman agama yang integratif,   yang dapat kita jumpai dalam pemikiran Frank Lloyd Wright justru terletak pada semangat dari Rennaisance sendiri yaitu semangat untuk mempertanyakan apa yang ada pada sebuah agama. Agama protestan banyak mempertanyakan  ritual-ritual dan pemahaman dasar dari agama Kristen yang ada ketika itu. Aliran Unitarian  yang dianut oleh keluarga Frank Lloyd Wright dengan dasar pemikiran dan konsepsi hidup yang ada pada Frank Lloyd  Wright  ketika  itu ikut  mempertajam  ide mempertanyakan  ini. Ketika  banyak orang cenderung untuk melihat agama sebagai sebuah adat dan tradisi lalu kemudian mengikutinya dengan sebuat taqlid buta. Frank Lloyd Wright justru mempertanyakan banyak  hal dalam  agama  yang  dalam  banyak  hal justru  menjadikan  agama  sebagai sebuah hal yang dinamis dan progresif.
Great religious leaders-Budha, Jesus, Abdul Bahai, Mohammad, Laotze especially-wanted no formalism by institutionalizing religion: tolerated no bureaucracy  or officialism  in the realm  of the spirit.  Such  integrity  of soul wanted not even disciples!”9
“High priest of religion as of education, as we have them both now, seldom understand   and   never   dare   teach   the   basic   freedom,   the   life-blood   of democracy, and ethical! Its very nature remains obscure.”10
Hal ini juga merupakan sebuah hal yg sangat penting karena mempengaruhi pola pikir masyarakat secara umum dan secara integratif membentuk pola dan kualitas kehidupan manusia  yang  akan  jauh  berbeda!  Karena  di  dalamnya  terdapat  ide  dan  semangat tentang perjuangan. Ide dan semangat tentang perjuangan yang membangun dan mengembangkan  agama sebagai sebuah hal yang tidak statis melainkan sebuah studi yang senantiasa dinamis dan bergerak ke arah pencarian kebenaran.
Frank Lloyd Wright dan Supremasi dari Alam di atas Manusia
Berangkat dari sebuah pemahaman bahwa alam merupakan “The only body of God that you can see”, Frank Lloyd Wright meneguhkan sebuah konsepsi bahwa alam sebagai sebuah  refleksi  dari  Tuhan  harus  mendominasi  dan  berada  diatas  dominasi  dan pemikiran dari manusia.
“The real body of our universe is spiritualities-the real body of the real life we live. From the waist up we’re spiritual at least. Our true humanity begins from the belt up, doesn’t it? Therein comes the difference between the animal and the man. Man is chiefly animal until he makes something of himself in the life of the spirit so that he becomes spiritually inspired-spiritually aware. Until then he is not creative. He can’t be.“11
Hal  ini  sangat  terlihat  dari  rumah-rumah  Praire  dan  banyak  bangunan  publik  yang didesain oleh Frank Lloyd Wright yang secara konsisten diterapkan hingga akhir hidupnya.
Bangunan sebagai sebuah produk tangan manusia harus tunduk dan menyesuaikan agar dapat  berdiri  diatas  karakter  dan  kekuatan  dari  lingkungan  alam  dan  binaan  di sekitarnya. Bangunan harus mampu mengadaptasikan dirinya dengan  konteks yang ada di sekitarnya.  Hal inilah  yang  menjadikan  bangunan-bangunan  Frank  Lloyd  Wright bersatu dengan site-nya, tidak menjadikannya secara sombong berteriak untuk menunjukkan  dirinya,  namun  lebih  terlihat  bersuara  secara  harmoni  dengan  apapun yang ada di sekitarnya (Lihat gambar 3).
“Young Wright saw that nature was a wonderful teacher and had answers to many question that theoretical learning could not explain nearly so well.”12
Dari  studi  tentang  kehidupan  Frank  Lloyd  Wright  sebelumnya   kita  akan  dapat menelusuri asal dari pemikiran dan konsepsi ini. Lingkungan masa kecil, perhatian dari ibunya dan pengalaman selama bekerja di ladang pamannya membentuk , melatih pemikiran dari Frank Lloyd Wright untuk menghargai dan melihat alam asli sebagai sebuah elemen yang tidak dapat dipisahkan dalam perancangan sebuah desain. Ia merupakan sebuah faktor utama yang menentukan sebuah desain.
“ She13 loved to pick windflowers in the hills and meadows, studying them, arranging them in cluster, explaining to him the intricate formation of the petals in relation to leaves and stem. She love ferns because of their geometric design and passed that love to her son….”14
Ide dan pemikiran tentang supremasi alam ini memliki sebuah implikasi yang sangat besar dan signifikan.  Karena  dalam Arsitektur  kemudian  ia berbicara  dalam penggunaan bahan, proses desain dan bagaimana menetapkan skala dan perbandingan. Ia membahasakan bagaimana kita memperlakukan bangunan sebagai produk manusia ketika berhadapan dan berinteraksi dengan alam sekitarnya.
Ide  dan  pemikiran  tentang  supremasi  alam  juga  akan  melahirkan  sebuah  konsepsi tentang   sebuah   kehidupan yang   berkelanjutan (sustainable). Kehidupan    yang berkelanjutan jika kita pelajari dalam pemikiran dan filosofi dari Wright mengandung dua dimensi yaitu dimensi alam sebagai aspek fisik dan dimensi sosial yakni pemikiran dan pemahaman manusia sebagai aspek internal (spiritual)15.
Dimensi alam berbicara tentang perjuangan untuk menjaga dan merawat alam sebagai sebuah produk Tuhan yang harus dilestarikan bahkan ditingkatkan kualitas daya dukungnya. Sedangkan dimensi sosial berbicara tentang pemeliharaan sikap kritis dan pemeliharaan  terhadap  aspek  sosial  dan  sisi-sisi  dari  pemikiran  dan  tingkah  laku manusia.  Keduanya  memiliki  hubungan  yang  sangat  erat.  Tanpa  pemahaman  yang integral terhadap terhadap keduanya kita akan menghadapi sebuah masalah yang serius dan kronis.
“ We must conceive and integrate: begin again at the beginning to build the right kind of building in the right way in the right place for the right kind of people.”16
Inilah yang dapat kita lihat pemikiran  dan falsafah  hidup dari Frank Lloyd Wright, sebuah semangat sustainability yang mencakup aspek fisik dan juga aspek sosial.
Frank Lloyd Wright dan Ide tentang Personal Demokrasi
Bagian dari pemikiran ini sangat menarik karena menunjukkan interaksi yang positif antara  arsitektur  dengan  politik  sebagai  suatu  bagian  dari  aspek-aspek  kehidupan manusia. Ianya sekaligus juga membantah  sebuah pemahaman  yang berusaha mengkotak-kotakkan  arsitektur  dan politik  sebagai  sebuah  hal yang terpisah.  Politik tidak dapat dipisahkan dari aspek lain dari hidup kita sebagaimana tidak dapat dipisahkannya   politik   dari   aspek   arsitektural.   Arsitektur   dipengaruhi   dan   juga mempengaruhi politik! Realitas yang ada telah menunjukkan hal ini.17
“…the politicians-are, they are only complex expedients to force this swarning clerical breed of bureaucracy to function together. This has bred, finally, still more droves of white-collarites:…It becomes impossible to hold, operate, or distribute  land, sell or buy money,  or manufacture  anything,  safely, or even marry, make love or die, without the guide and counsel of these specialist in the extraordinary entanglements of rent, of rules, of regulations applied to this or that involute commercial expedient with courts for counters where the attempt to put law above man is made in this complex game we now call our civilization in the prosperity of the machine age.”18
Karenanya  pemikiran-pemikiran  dan  filosofi  kehidupan  Frank  Lloyd  Wright  yang banyak  dipengaruhi  oleh  tokoh-tokoh  besar  yang  mempengaruhi  politik  Amerika seperti Walt Withman,  George Washington,  Abraham Lincoln dan Thomas Jeferson juga tidak dapat kita abaikan begitu saja.
Ide  dan  pemikiran  tentang  Demokrasi  yang  dapat  kita  temukan  pada  pemikiran- pemikiran Frank Lloyd Wright berakar dari pemahaman tentang agama, nilai- nilai dan pemahaman tentang sisi-sisi kemanusiaan yang telah mulai dilupakan dalam Revolusi
hakiki dalam hal pengetahuan ketuhanan dan nilai-nilai kemanusiaan. Jadi Frank Lloyd Wright menentang usaha menjauhkan manusia dari Tuhannya dengan memberikan pandangan   tentang   aspek   dan   nilai-nilai   kemanusiaan   yang   terkandung   dalam kehidupan agama. Sebuah bentuk Demokrasi yang bersendikan pengingatan kepada Tuhan.
Dalam  pandangan  Wright  aspek  utama  dari  sebuah  peradaban  adalah  apa yang  dia katakan  sebagai  “personality”  atau  oleh  beberapa  orang  dikatakan  sebagai penghormatan terhadap nilai dan kemampuan personal.  Tanpa sebuah penghargaan terhadap kemampuan individu dengan segala kretivitasnya suatu kebudayaan akan mengalami   kemunduran   dan  akhirnya   kehancuran.   Keberadaan   seorang   manusia sebagai seorang individu harus mendapatkan sebuah penghargaan yang layak.
Ide ini seiring dengan apa yang terjadi di Eropa oleh Art and Craft Movement19, dimana gerakan ini secara keras menentang penggunaan mesin-mesin dalam revolusi industri yang pada akhirnya membunuh kreativitas pekerja, mengambil pekerjaannya dan mengurangi kualitas dari produk yang dihasilkan.
Dalam beberapa hal mungkin hal ini terlihat sepele, misalnya jika kita membuat sesuatu yang sederhana sebutlah sebuah bolpoint apakah kita harus melihatnya sebagai sesuatu yang  begitu  membutuhkan  sentuhan  tangan  dari  seorang  ahli  sehingga  kualitasnya begitu perlu untuk diperhatikan. “Itu kan benda sederhana”, selama ia bisa berfungsi dengan  baik  maka  mengapa  kita  harus  mempertanyakan   kualitasnya   ,  beberapa kalangan  bahkan  menganggapnya  sebagai  suatu  hal  yang  menggelikan  dan  tidak praktis.
Penulis tidak akan berkomentar tentang hal ini  namun penulis berpendapat bahwa kita harus melihatnya dalam konteks yang lebih luas, dalam hal ini bagaimana hubungannya dengan demokrasi sebagai sebuah ideologi kemanusiaan secara keseluruhan. Masalah kualitas dan aspek personal ini berhubungan dengan bagaimana peranan manusia dalam sistem kehidupan pada akhirnya.
Manusia-lah  yang  menciptakan  mesin,  mesin  seharusnya  menjadi  alat bagi manusia untuk membantu dan meningkatkan kualitas dari produk yang ia hasilkan, ketika dominasinya  melampaui  manusia  dan  akhirnya  menjajah  kualitas  dari  kehidupan manusia maka pasti telah terjadi hal yang salah. Dalam pandangan penulis perjuangan Art and Craft jauh lebih besar dari perjuangan  meningkatkan  kualitas barang namun lebih merupakan sebuah perjuangan nilai-nilai kemanusiaan keatas suatu sistem yang menginjak-injak harkat dan martabat manusia. Sebagaimana dikatakan oleh Muthesius:
The art and crafts are called upon to restore our awareness of honesty, integrity and simplicity in contemporary society. If this can be achieved, the whole of our cultural life will be profoundly affected….the success of our movement will not only alter the appearance of house and flats but will have direct repercussions on the character of an entire generation…if the new trends are genuine, then an original, lasting style will emerge….(H. Muthesius 1907).”20
Wright dalam tulisan-tulisannya tidak pernah menentang penggunaan mesin dalam kehidupan manusia. Bahkan dalam beberapa bagian tulisannya ia cenderung mengajak manusia untuk menemukan  dan mengeksplorasi  penggunaan  bahan-bahan  baru yang dapat meningkatkan kualitas dan optimalisasi fungsinya. Namun secara tegas dan keras Frank sangat menentang penggunaan   mesin dalam kehidupan modern yang dalam pandangannya menghilangkan aspek kemanusiaan dan menggadaikannya demi sebuah keuntungan sesaat.
“Meantime the Machine became the monstrous power that moves us now. All our timely materials like glass and steel came to hand as a great new means of building. But there were no architectural forms suited to their use. The practice of architect  was so far gone to the composer of the picture that we had no Architect able to conceive the radical new forms needed to use the new tools and  materials  with  nobility,  inspiration   or  even  intelligence.So   our  own architect in this new world further falsified symbols and again prostituted the new materials  not only by a kind of mimicry  but by outrage  that made our architecture what it is today-servile, insignificant refuse or puerile nostalgia.”21
Dari pemahaman tentang pentingnya penghargaan individu inilah konsepsi Arsitektur Demokrasi Frank Lloyd Wright lahir. Sebuah pemahaman yang berusaha merefleksikan kehidupan bernegara dan sistem politik kerakyatan ke dalam Arsitektur.
Hal  lain  yang  juga  banyak   mendapatkan   perhatian   dari  Wright  dalam  konteks Arsitektur dan sistem kenegaraan adalah apa yang dia katakan sebagai identitas sebuah bangsa. Pada saat itu di Amerika banyak arsitek begitu gandrung dengan aliran Revivalisme  dan  Ekletik  yang  berusaha  menghidupkan  aliran  Klasik,  Yunani  atau Romawi ke dalam arsitektur kontemporer ketika itu.
Dalam pandangan  Wright hal ini merupakan  sebuah kebodohan  dan kesalahan  yang sangat besar, karena suatu upaya penjiplakan tidak akan menghasilkan sebuah karya arsitektural yang bermutu (pada awalnya mungkin terlihat bagus, namun tanpa “Sprit of Time” dan “Spirit of Place”, ia akan membawa masalah yang kronis dan serius) dan yang terpenting adalah ia tidak mencerminkan identitas dan kepribadian suatu bangsa.
“The truth is, we need originality more than it was ever needed to make good our claim to democratic freedom. Why can’t we be honest about it? If one must steal it-steal it. Take it straight! Why fake it and spoil it?”22
“No great Architecture can arise from us based upon the expedient use of the ancient city.”23
Dalam pandangan Wright, akan lebih positif jika kita memiliki identitas tersendiri walaupun  tidak  terlihat  terlalu  hebat,  namun  setidaknya  itu  identitas  kita,  yang dengannya kita boleh berbangga dan dengan sebuah eksplorasi dan eksperimen yang cukup pada akhirnya akan mampu menghasilkan sebuah Arsitektur yang berkualitas.
Sebagaimana Sullivan ketika mengkritik tentang penggunaan tipologi Romawi untuk bangunan sebuah bank (Lihat Gambar 4), thing – the people at large do not know it... , is the pseudo-Roman temple were for  any  one  thing  American  it  must,  ipso  facto,  be  good  for  anything  and everything American, because American means American, and expresses the genius of the people. But Roman does not mean American, never did mean American, never can mean American. Roman was Roman. American is, and to be, American. The architect should know this without our teaching, and I suspect that he does know it very well in his unmercenary moments. The public would  know  it  instinctively  if  they  were  not  continually  bamboozled  and wheedled by architect and thus bereft or their sense of fitness; and so could become free to regard the architect in any other light than his self-made one of peddler on fashions.24
Wright  pun  banyak  mengkritik  bangunan-bangunan  di  Amerika  yang  dalam pandangannya lebih merupakan langkah mundur dan sama sekali tidak mencerminkan ide tentang apa itu Amerika.
Aspek lain yang juga menjadi perhatian dari Wright adalah masalah kebebasan dan kekuasaan dari rakyat secara keseluruhan diatas kepentingan, sebuah prinsip dasar dari Demokrasi  itu sendiri.  Kebebasan  individu untuk berkreasi,  kebebasan  dan hak dari setiap orang untuk dihargai sebagai individu dengan segala implikasinya baik dalam kebebasan berserikat maupun kehidupan bernegara.
“When democracy  triumphs and builds the great city, no man will live as a servile or savage animal; holing in or trapped in some cubicle on an upended extension of some narrow street. Withstanding all this passing danger to him- the free man will again live free: the human biped which the best of him always dreamed  of  being!  Life  and  love  as  noble  leaders  of  our  brave  social experiment.”25
Frank Lloyd Wright dan Profesional Arsitek yang Bermoral
Satu  hal  yang  menjadi  banyak  perdebatan  dimana  di  dalamnya  terdapat  banyak masalah,  adalah  apa yang  disebut  sebagai  kode  etik dan hubungan  profesional  dari profesi  yang  bernama  arsitek. Pembahasan  ini  sangat  penting  karena  berhubungan dengan pengaplikasian dari sebuah hal yang prinsipil dan idealis dalam sebuah realitas kehidupan profesi.
Wright sebagaimana yang kita temukan dalam tulisan-tulisannya meletakkan hubungan dengan Tuhan (aspek religius) sebagai bagian dari profesi Arsitek. Hal ini merupakan sebuah aspek yang sangat mendasar dan fundamental karena derivasi darinya sangat signifikan  dan  menjadi  sendi  dasar  dari  profesi  ini.  Ketika  kita  menjadikan  agama sebagai bagian dari sebuah profesi praktis berarti kita berbicara tentang pengaplikasian dari sebuah nilai-nilai idealis religius ke dalam sebuah sistem pragmatis dari kondisi riil profesi tersebut.
Penggunaan  aspek  religius  ini  pada  akhirnya  mempengaruhi  bagaimana  pola  pikir, metode bertindak dan respon positif dari arsitek sebagai profesi dalam menghadapi masalah-masalah   keprofesiannya.   Salah   satu   masalah   yang   paling   penting   dan kepada kliennya. Ia  secara membabi-buta mengikuti secara mentah-mentah apa yang dikehendaki oleh kliennya, untuk kasus rumah pribadi mungkin masalah ini dapat kita terima namun dalam kasus bangunan public (sebut saja kasus pembangunan masjid di Malaysia)26    tentu   saja   masalah   ini   menjadi   sebuah   masalah   serius   yang   jelas memerlukan  sebuah  penanganan  dan  pandangan  yang  komprehensif.  Frank  Lloyd Wright   sangat   menentang   para   arsitek   yang   menjual   dirinya   demi   memuaskan keinginan kliennya. Hal ini dapat kita lihat dari percakapan antara Wright dan Cecil (sahabat akrabnya) berikut ini:
“ Whom are you going to build homes for? If you go against their wishes and try to give them what you think right and not what they think they want?”
“ That’s just where a wise creator must come in, cecil. I won’t need but one man in ten thousand   to work for-even one man in a hundred thousand would keep me more than busy all my life, because that man will need me as much as I need him. He will be looking for me.”27
Adalah benar bahwa dengan kemampuannya dari segi finansial seorang “Owner” dapat mendikte seorang arsitek sebesar apapun, karena memang dari merekalah seluruh pemasukkan sang arsitek berasal. Namun di sisi lain kita juga tidak dapat mengabaikan bahwa akan ada banyak orang yang menggunakan bangunan tersebut karenanya kita, sebagai arsitek tidak dapat seenaknya membuat sebuah bangunan apalagi jika ternyata motif dari si arsitek hanya dalam upaya menambah komisi yang ia terima.28
Masalah tanggung-jawab  pribadi ini menjadi sebuah isu yang senantiasa disampaikan oleh   Frank   Lloyd   Wright.   Bahwa   seorang   arsitek   bertanggung-jawab   terhadap bangunan yang dihasilkannya dan sebuah bangunan tidak dapat berbohong! Ia akan berbicara tentang apa yang melatar-belakangi pembangunannya. Karenanya jika kita sebagai seorang arsitek menghasilkan sebuah bangunan yang buruk dan mengabaikan tanggung-jawab terhadap masyarakat. Pertanyaan besar tentang konsistensi dan keprofesionalitasan kita sebagai arsitek akan senantiasa ditanyakan kepada kita.
Frank Lloyd Wright dan Ide tentang Pendidikan yang Progresif
Dari  beberapa  tulisan  yang  sudah  dihasilkannya,  masalah  yang  juga  menjadi  titik perhatian dari Frank Lloyd Wright adalah apa yang saya definisikan sebagai ide tentang pendidikan   yang   progresif.      Pemikiran-pemikiran   ini   menunjukkan   bagaimana perhatian  Wright  terhadap  dunia pendidikan  sebagai  sebuah  pencetak  arsitek-arsitek yang memiliki pemahaman tentang nilai-nilai kemanusiaan, moral dan berkelanjutan.
“ What is education without enlightenment? Is mere conditioning. And what is mere conditioning mass ignorance, the poisonous and poisoning end of what we call civilization? There is nothing more dreadful, more dangerous, nothing to be more feared in this world, than plain or fancy ignorance. We can see this conformity. We can see it in the education of modern mass-society.”29
Pemikiran-pemikiran ini akan sangat berguna bagi dunia pendidikan arsitektur kita. Dengan   sebuah  konversi   teori  dan  pemahaman   yang  cukup,  kita  akan  mampu menciptakan   sebuah  sistem  pendidikan  yang  integral,  menyeluruh,  lengkap  serta relevan untuk berbagai situasi dan kondisi.
“ Education should consist in learning to recognize its integrity and this indigenous character wherever found people or things”.30
Walaupun Taliesin sebagai sekolah sekaligus studio kerja dari Wright banyak dikritik karena tidak menghasilkan satu pun arsitek yang berkualitas (dalam arti kata se-kualitas Frank Lloyd Wright).
“The  Taliesin  Fellowship  has  often  been  criticized  on  two  grounds:  first, because (it is alleged) the young people who came to study there were, in effect, exploited and forced to do all sort of housekeeping and farm work, rather than learn  something  about  Architecture.  And  second  the  fellowship  has  been criticized   because   it   did   not   produce   any   very   talented   “Wrightian” architects.”31
Namun mempelajari teori-teori dan metode pelajaran beliau tetaplah merupakan suatu hal  yang  esensial.  Memang  penilaian  terhadap  keberhasilan  ataupun  kegagalan  ini menjadi  suatu hal yang relatif  dan memerlukan  parameter  dan indikator  yang jelas. Namun tanpa mempermasalahkan parameter dan kualitas dari hasil didikan Wright, ada sisi-sisi moral dari pendidikan Frank Lloyd Wright yang memberi pelajaran pada kita akan  makna  hakiki  dari  arsitektur  sekaligus  bagaimana  interaksi  aspek  ini  dalam konteks dan lingkungan yang lebih luas.
Ide-ide  Frank  Lloyd  Wright  dalam  dunia  pendidikan  diantaranya,  yang  pertama pendidikan yang menjadikan semangat bertanya dan mencari tahu sebagai jantung pemikirannya.  Pendidikan  haruslah  menjadi  sebuah bagian dari proses pembelajaran yang merangsang semua elemen akademik untuk membudayakan rasa ingin tahu dan mengembangkan   atmosfer  akademis.  Kebiasaan  mempertanyakan   sesuatu  menjadi sebuah elemen yang sangat penting karena dari dalamnya lah sebuah ilmu tidak hanya didapat, namun dikembangkan.
Dan dalam proses diskusi inilah kita mendapatkan sebuah kerangka perjuangan demi kebaikan orang banyak. Namun bagaimana dengan pendidikan sekarang, sebagaimana dikatakan oleh Wright:
“This weed goes to seed! Children keep on coming and growing. Now herded by   the   thousand   in   school   built   like   factories,   run   like   factories:   all systematically turning out herd-struck teenagers like machine turning out shoes. In knowledge-factories.”32
Kita  lebih  mementingkan   untuk   menghasilkan   pelajar-pelajar   dengan   spesifikasi tertentu (seperti sepatu) daripada pelajar yang berpikir33.
Yang kedua adalah pemahaman untuk melihat sesuatu di belakang dari suatu peristiwa, benda atau korelasi dari tanda-tanda. Untuk melihat ke dalam bukan melihat pada! Pemahaman ini sangat penting karena darinyalah integrasi dan keluasan makna dan peranan dari sebuah  ilmu dapat kita capai . Dari semangat melihat ke dalam sebuah peristiwa inilah pada akhirnya kita mendapatkan sebuah gambar yang utuh dari apa itu arsitektur.
“True education is a matter of seeing in, not merely seeing at. Seeing in means seeing nature. Now when popular education uses the world nature, it may mean the elements; it may mean animal life; it means pretty much from the; waist down.  Whereas  nature  with  a  capital  “N”-  I  am  talking  about  the  inner meaning of the word Nature-is all the body of god we’re ever going to see. It is practically the body of God for us. By studying that nature we learn who we are, what we are, and how we are to be.”34
Yang ketiga adalah sebuah pemahaman  bahwa segala ilmu yang kita dapat haruslah dapat   diaplikasikan   dan   berguna   baik   secara   langsung   maupun   kemudian   bagi masyarakat   secara  umum.   Tanpa  sebuah   orientasi   dan  target   yang  jelas  untuk berorientasi   kepada   masyarakat,   ilmu   hanyalah   menjadi   milik   elitis   dari   suatu kelompok  masyarakat  saja.  Kita hanya  akan  mendapatkan  sekumpulan  orang  pintar yang memperbudak  orang banyak demi keuntungan pribadinya. Tanpa sebuah pemahaman  yang  positif  ini  manusia  akan  kehilangan   hakikat  dasarnya  sebagai manusia.
Frank Lloyd Wright dan Ide tentang Kota yang Ideal
Di  akhir  masa  kehidupannya  Frank  Lloyd  Wright  menghasilkan  sebuah  pemikiran tentang sebuah kota yang ideal. Ide ini kemudian lebih dikenal sebagai “Broad Acre City”. Ide tentang Broadacre city merupakan sebuah anti tesis dari ide tentang sebuah kota yang tersentralisasi atau yang biasa disebut sebagai Radian City.
“Centralization  is centripetal, whether as city, factory, school or farm; it has not met the rising spirit of democracy-freedom of the individual as individual to work with-for centralization is by nature against it.”35
Ide tentang kota yang ideal ini juga merupakan sebuah respon atas hilangnya nilai-nilai agama, moral dan terutama sekali nilai-nilai kemanusiaan dari kehidupan orang-orang modern (Lihat gambar 5 & 6). Revolusi Industri di Eropa memiliki sebuah implikasi yang sangat besar kepada manusia. Penemuan mesin uap dan akhirnya computer dan robot   telah   banyak   mengubah   perilaku   dan   merombak   sendi-sendi   dasar   dari interpretasi   seorang   manusia   terhadap   makna   dan   arti   kehidupan.   Ide   tentang kemutlakan  materi sebagai sebuah bagian utama dari kehidupan menghilangkan  sisi- sisi kemanusiaan dan aspek ruhiah dari manusia.
Perubahan  pola pikir dan persepsi  masyarakat  ini merupakan  suatu perubahan  yang sangat revolusioner. Pemikiran-pemikiran sekuler yang mengesampingkan hal-hal yang bersifat   ketuhanan   mendapatkan   sebuah   landasan   berpijak.   Pemikiran-pemikiran
materialistic  ini  pada  akhirnya  mengabaikan  bahkan  memberi  resistensi  terhadap banyak hal yang bersifat immaterial termasuk agama dan nilai-nilai moral. Sebenarnya ide dan pemahaman ini sudah dimulai ketika Plato menyatakan bahwa inti dari sebuah ilmu  pengetahuan  ada  di  otak  bukan  pada  hati  sebagaimana  para  filosof  Yunani sebelum ia katakan. Namun barulah pada masa renaissance ia mendapat sebuah tempat yang cukup stabil, diterima dan akhirnya mengubah sendi-sendi dasar dari pemahaman sebagian besar ilmuwan tentang  ilmu pengetahuan dan teknologi.
Implikasi dari pemikiran ini sangat besar! Orientasi dari pemikiran-pemikiran yang materialistik akan  melahirkan   sebuah  pemahaman   yang  pragmatis,   orang  baru melakukan kontak sosial ketika dalam pandangannya hal tersebut membawa manfaat kepada dirinya. Sistem nilai dan tatanan moral akan menjadi sebuah hal yang sangat kabur,    karena  orientasi  pemahamannya  akhirnya  diletakkan  pada  interpretasi  dari masing-masing individu.
Dalam pandangan  Wright hal ini tidak boleh terjadi. Kenapa? Karena kita manusia! Dan  yang  membedakan  manusia  dengan  makhluk  yang  lain  adalah  tingkat kesadarannya. Anda mungkin dapat melatih seekor monyet untuk melakukan sesuatu namun  perlu  kita  sadari  bahwa  seekor  monyet  tidak  memahami  dan  tidak  akan memahami apa sebenarnya yang ia lakukan. Hanya sebuah kesadaran lah yang menyebabkan manusia kembali kepada hakikat dasarnya sebagai manusia. Kehidupan modern  sebagaimana  yang diberikan  oleh Revolusi  Industri  telah merampas  hal ini. Mesin-mesin   produksi  telah  memaksa  manusia  untuk  mengerjakan   sesuatu  yang bahkan  ia sendiri  tidak  memahami  apa yang sebenarnya  ia lakukan.  Inilah  persepsi dasar yang menjadi pijakan dari ide Frank Lloyd Wright tentang kota yang ideal.
Turunan dari pemahaman dasar ini memiliki implikasi yang jelas-jelas berbeda dari pemahaman tentang revolusi Industri. Pemahaman dasar ini membawa seorang manusia kepada  sebuah  pengertian  bahwa  setiap  individu  sebagai  manusia  adalah  seorang personal yang sangan berharga dengan segala keunikan yang ada di dalamnya. Pemahaman ini membawa manusia kepada penghargaan yang tinggi terhadap setiap individu. Dari sinilah pada akhirnya Frank Lloyd Wright menolak secara tegas segala upaya yang berusaha menstandarkan segala sesuatu yang berhubungan dengan kemampuan  personal  dari seorang makhluk  yang namanya  manusia.  Setiap individu harus diperlakukan sebagai individu bukan sebagai bagian dari suatu kumpulan atau kelompok tertentu. Hal inilah yang kemudian melahirkan konsepsi tentang pemilikan individu dan penghargaan terhadap karya seorang individu.
Namun  di  luar  pemahaman  itu  semua  Frank  Lloyd  Wright  termasuk  orang  yang menolak,  ketika  pemahaman  tentang  penghormatan  terhadap  kemampuan  seorang individu   tadi   berkembang   menjadi   sebuah   pemakaman   individualistik.   Seorang manusia tetap harus berkontribuasi dan berkiprah dalam kehidupan masyarakatnya. Karena dari situlah pada akhirnya kehidupan seorang manusia menjadi bermakna. Hal ini kembali menegaskan konsepsi kesatuan antara aspek agama, moral dengan sifat materialisme dari pemikiran Frank Lloyd Wright sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.  Sekali  lagi ia menegaskan  bahwa  agama  dan moral  merupakan  bagian yang integral dan penting dalam hidup kita.
Kesimpulan
Dari pemaparan  diatas kita mendapati  berbagai  ide dan sudut pandang  serta filosofi yang  sangat  berguna  dari  Frank  Lloyd  Wright.  Dari  berbagai  ide  dan  filosofi  ini terlihatlah  bahwa  kita  harus  melihat  Arsitektur  sebagai  sebuah  kajian  yang  sangat integral   dengan   berbagai   kajian   dari  disiplin   ilmu   yang  lain,  karenanya   untuk memahami Arsitektur secara utuh kita harus melihat latar dan sistem di belakangnya sebagai suatu kesatuan yang integratif.
Lampiran Gambar:
Gambar 1: Ide dari Wright tentang bagaimana seharusnya sebuah tempat ibadah tercermin dari tulisan di depan Unity Temple.
Gambar 2: Eksterior dan interior dari Unity Church, sangat berbeda dengan gereja gothic yang dibuat oleh banyak arsitek ketika itu mencerminkan bahasa arsitektural dan pemahaman agama yang berbeda dari Frank Lloyd Wright.
Gambar 3: Berbagai bangunan karya Frank Lloyd Wright yang mencerimnkan supremasi dan penghormatan terhadap alam dan lingkungan dimana bangunan tersebut dibangun.
Gambar 4: Salah satu bangunan bank karya Louis Sullivan yang merupakan suatu desain baru (bukan eklektik) terhadap tipologi Bank di Amerika.
Gambar 5: suatu model yang menggambarkan ide Wright tentang broadacre city
sebagai sebuah kota yang ideal. Terlihat pembangunan yang dilakukan lebih merupakan pembangunan horizontal.
Gambar 6: Ide Radiant City yang dibuat oleh Le Corbusier. Pembangunan lebih diarahkan kearah vertikal.

Referensi:
Heinz,  Thomas  A  (1996).  Frank  Lloyd  Wright:  Field  Study.  London:  Academy
Editions.
Heinz, Thomas A (2002). The Life and Works of Frank Lloyd Wright. Kent: Grange
Books Plc.
Hitchcock, Henry Russell (1941). The Nature of Materials. New York: Da Capo Press, Inc.
Hoffman,  Donald  (1978).  Frank  lloyd  Wright’s  Fallingwater:  The  House  and  Its
History, New York: Dover Publication Inc.
Kaufmann, Edgar J (1989). 9 Commentaries  on Frank Lloyd Wright. Massachusetts: MIT Press
Laseau. Paul (1937). Frank Lloyd Wright; Between Principle and Form. New York: Van Nosrand Reinhold.
Nute,  Kevin  (1993).  Frank  Lloyd  Wright  and  Japan.  New  York:  Van  Nosrand
Reinhold.
Pfeiffer, Bruce Brooks (1984). Letters to Architect;  Frank Lloyd Wright. California: California State University Press.
Willard, Charlotte (1972). Frank Lloyd Wright: American Architect. New York: The
Macmillan Company.
Wright, Frank Lloyd (1943). An autobiography by Frank Lloyd Wright. New York: The
Frank Lloyd Wright Foundation.
Wright, Frank Lloyd (1949). Genius and Mobocracy. New York: Horizon Press.
Wright, Frank Lloyd (1957). Truth Against the World.  New York: A Wiley-interscience
Publication.
Wright, Frank Lloyd (1957). A Testament. London: Architectural Press. Wright, Frank Lloyd (1958). The Living City. New York: Horizon Press.
Wright, Olgivanna Lloyd (1966). Frank Lloyd Wright; His Life, His Work, His Words.
London: Pitman Publishing.
Wright, Frank Lloyd (1954). The Natural House. New York: Horizon Press..

No comments:

Post a Comment